Apakah agama itu penting?

Posted on 21 July 2025 by Mohammad Ali Hasan Amiruddin — 3 min

Pertanyaan ini tentu tak bisa dijawab secara langsung. Karena jika aku jawab ya, kalian mungkin tak setuju. Dan jika aku jawab tidak, justru aku yang mungkin tak setuju. Bukankah menjawab pertanyaan harus mempertimbangkan keadilan logis agar menghasilkan pemahaman yang damai dan berkelanjutan? Tentu saja, kalian ingin menang, dan aku pun tak ingin kalah 😁. Tapi ini bukan sekadar soal menang atau kalah. Ini soal: logis atau tidak logis.

Sebelumnya, aku rasa kita harus meminjam konsep relativitas Einstein dalam menilai apakah sesuatu itu penting atau tidak. Payung adalah hal yang tidak penting sebelum hujan turun. Namun, ketika hujan turun, payung menjadi sangat penting—bahkan lebih penting daripada teropong bintang! Jadi, konsep kepentingan terhadap suatu hal sangat bergantung pada seberapa besar kebutuhan kita terhadapnya.

Jadi, apakah agama itu penting?

Masih terlalu dini untuk menjawabnya secara tegas. Ada banyak parameter yang belum diungkap untuk menentukan apakah agama itu penting atau tidak. Dan parameter itu sangat terkait dengan apa yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.

Manusia adalah makhluk yang tak hanya beroperasi pada dinamika materi. Ia juga beroperasi pada skala perasaan—ego—yakni suatu dimensi yang bahkan sains pun tak punya rumus empiris untuk menganalisanya. Kita memiliki banyak model perasaan: bahagia, sedih, gelisah, puas, kecewa, dan seterusnya. Semua itu memiliki pola dan perkembangan. Dan justru karena itu, ia sangat perlu dikelola agar optimal dan tidak membahayakan diri kita sendiri. Ini mirip dengan kondisi ketika ilmuwan harus mengelola uranium agar dapat diambil manfaatnya tanpa menyebabkan kerusakan melalui radiasinya. Dan manajemen pengelolaan ego paling banyak ditemukan dalam konsep agama—sesuatu yang tidak menjadi fokus utama dalam ranah ilmiah.

Konsep agama memang tidak bertujuan menjelaskan ranah ilmiah secara langsung. Hipotesis agama justru fokus pada hal yang lebih tinggi: esensi dari ranah ilmiah itu sendiri. Bukankah setiap penelitian ilmiah selalu beralasan demi kemajuan umat manusia—demi kebahagiaannya, kepuasannya? Tapi sampai saat ini, apa yang dihasilkan oleh sains? Mereka menghasilkan kemajuan yang juga diiringi oleh peningkatan tekanan psikologis yang sering kali tidak diantisipasi secara memadai. Inilah sebabnya, dalam banyak kasus, bunuh diri menjadi sesuatu yang wajar terjadi, karena yang bersangkutan tidak memiliki mekanisme yang memadai dan logis untuk mengelola perasaannya. Kita mungkin bisa menjinakkan uranium dengan rumus-rumus empiris. Tapi bagaimana cara menjinakkan ego kita? Satu-satunya hipotesis yang paling mendukung untuk menjawab itu adalah agama.

Jadi sekarang, apakah agama itu penting?

Jawabannya tergantung. Tergantung apakah kau peduli dengan dirimu atau tidak. Tergantung apakah kau peduli dengan egomu atau tidak. Tergantung apakah kau mencari kepuasan dalam hidupmu atau tidak.

Jika kau tak peduli dengan dirimu, jika kau tak peduli dengan egomu, dan jika kau tak mau mencari kepuasan dalam hidup..., maka agama itu tak penting. Dan jangan khawatir, kau masih bisa hidup meski kau mengabaikan dirimu, egomu, dan bahkan meski tanpa memiliki kepuasan. Namun, kualitas hidupmu dalam kondisi seperti ini adalah sesuatu yang layak dipertanyakan.