Menjadi Pemikir yang Benar

Posted on 08 August 2025 by Mohammad Ali Hasan Amiruddin 5 min

Kualitas hidup seseorang ditentukan oleh kualitas pikirannya. Dan kualitas pikiran seseorang ditentukan oleh model berpikirnya. Model berpikir adalah jalur yang dilalui pikiran seseorang untuk menyimpulkan: apakah sesuatu benar atau salah, apakah sesuatu baik atau buruk, apakah sesuatu sebaiknya dilakukan atau tidak..., dan seterusnya. Singkatnya, model berpikir adalah cara pikiran menemukan kebenaran menurut versinya sendiri. Kegagalan dalam pencarian kebenaran ini akan berujung pada kondisi psikologis yang tragis seperti: kesedihan, kekecewaan, penyesalan, kemarahan, dan keputusasaan.

Manusia, dengan nalurinya yang fitrah, selalu memiliki kecenderungan untuk mencari kebenaran. Kebenaran adalah parameter kehidupan yang mampu menenangkan logika dan membuat ego tunduk tanpa merasa tertekan. Kebenaran sering kali tidak ditemukan karena ego tidak selalu sejalan dengan logika. Logika menimbang murni berdasarkan data, sedangkan ego mengutamakan kebebasan berekspresi tanpa harus peduli pada logika. Akibatnya, kombinasi keduanya ibarat orang kedinginan yang justru membakar dirinya sendiri demi mendapatkan kehangatan. Lucu sekaligus mengkhawatirkan.

Manusia hidup di zaman modern yang menuntut perhitungan akurat dan presisi. Dan di situlah masalah klasik sering muncul: mengapa pikiran manusia sering tidak seakurat dan sepresisi perhitungan komputer dalam menentukan benar dan salah? Mengapa seseorang yang sudah tahu kebenaran tetap membuat keputusan yang salah? Apakah seseorang sadar bahwa ia sering tertipu oleh pikirannya sendiri?

Semua pertanyaan itu mengarah pada satu kesimpulan sederhana: pikiran bukanlah tolok ukur dalam pencarian kebenaran. Logika kita tidak dapat menghasilkan kebenaran yang benar-benar sahih, karena ego hanya menganggap benar apa yang ia sukai. Di sinilah kita memerlukan validator eksternal untuk mendapatkan hasil penalaran logis yang lebih adil: bebas dari bias, bebas dari kontradiksi, dan stabil atau relevan untuk segala kondisi. Dan satu-satunya validator yang memenuhi kriteria tersebut adalah: Al-Qur’an.

Al-Qur’an pernah dijadikan panduan dalam penaklukan dua kekaisaran besar: Romawi dan Persia. Al-Qur’an juga mampu mempertahankan stabilitasnya melewati perubahan selama lebih dari 14 abad. Stabilitas Al-Qur’an dari perubahan zaman adalah bukti bahwa relevansi Al-Qur’an terhadap kehidupan manusia sangat tinggi. Jika Al-Qur’an tidak memiliki relevansi yang tinggi terhadap kebutuhan zaman, tentu ia sudah lama ditinggalkan, sebagaimana hipotesis Darwin ditinggalkan karena menyatakan manusia dan kera berasal dari satu garis keturunan.

Jika Al-Qur’an mampu menaklukkan dua kekaisaran besar dengan begitu mudah—karena hanya butuh satu generasi untuk mewujudkannya—maka Al-Qur’an sangat mampu mengarahkan pikiran kita dari gangguan ego. Al-Qur’an sangat ampuh digunakan untuk menaklukkan pikiran-pikiran absurd kita. Ya, kita memang perlu menggunakan validator eksternal yang stabil untuk memvalidasi pikiran kita. Kebutuhan kita akan validator ini masuk akal, yakni: karena pikiran kita tidak cukup mandiri untuk menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang salah dan apa yang benar, serta apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya ditinggalkan.

Manusia memang makhluk yang sempurna. Namun kesempurnaan manusia bukanlah kesempurnaan seperti yang dimiliki Tuhan—yang tidak memiliki kelemahan. Manusia memiliki kelemahan dalam kerangka proses berpikirnya. Ini karena keberadaan ego sering mengganggu keputusan akhir yang dihasilkan oleh pikiran. Dan pikiran tidak selalu mampu melawan ego karena ego adalah bagian dari keseluruhan diri manusia.

Oleh karena itu, kita memerlukan sebuah cara yang juga logis untuk membentuk kerangka berpikir yang adil: bebas bias, bebas kontradiksi, dan relevan di segala kondisi. Dan cara paling logis untuk mengatasi absurditas berpikir adalah dengan tidak memberikan kepercayaan penuh pada pikiran itu sendiri. Sebaliknya, kita harus menyerahkan pertimbangan akhir dari keputusan pikiran kita kepada validator eksternal yang lebih kompeten, yaitu pada penilaian Al-Qur’an. Dengan cara ini, pikiran kita tidak lagi harus menentukan: apakah benar atau salah, apakah baik atau buruk, dan apakah seharusnya dilakukan atau tidak. Semuanya diserahkan pada penilaian Al-Qur’an, dengan mempertimbangkan konsekuensi logisnya. Pikiran kita hanya melakukan penalaran standar tanpa harus menyimpulkan: pantas atau tidak, boleh atau tidak, perlu dilakukan atau tidak. Jika cara berpikir ini diterapkan, maka: beban emosional pikiran kita akan berkurang drastis, efektivitas dan produktivitas pikiran akan meningkat, dan yang terpenting, kita tidak perlu bersusah payah mencari argumen hanya untuk membungkam kesombongan ego kita sendiri.

Ketidaknyamanan dalam perasaan kita, kesalahan dalam pikiran kita, dan ketidakkonsistenan dalam tindakan kita... adalah bukti paling jelas bahwa kita tidak seharusnya sepenuhnya mempercayai diri sendiri. Karena itulah kita memerlukan validator eksternal yang benar-benar tangguh untuk menilai kita dari luar kerangka logika kita.

Maka, sangatlah wajar jika kita harus meragukan keputusan yang kita buat atau tindakan yang akan kita ambil, untuk memeriksa validitasnya.

Apakah kamu percaya pada keputusanmu? Apakah kamu percaya pada pikiranmu?

Jika tidak, gunakanlah Al-Qur’an sebagai validator eksternal untuk memvalidasi keputusan kita. Al-Qur’an tidak memaksakan pilihan tertentu. Lebih dari itu, Al-Qur’an selalu berusaha memberikan penilaian yang paling logis berdasarkan konsekuensi yang harus ditanggung dari setiap pilihan.

Contoh Kasus 1:
Seseorang ingin meminum minuman beralkohol. Ia tidak yakin apakah itu baik atau buruk. Menurut sains, hal itu buruk bagi kesehatan, namun mayoritas masyarakat menganggapnya baik. Pikiran orang tersebut juga cenderung membenarkan pendapat masyarakat, walau ia tidak menolak sains. Bagaimana validitas logisnya?
Validasi Al-Qur’an:
Dalam Al-Qur’an 2:219 disebutkan bahwa minuman memabukkan memang memiliki manfaat, namun dosa (bahaya) yang ditimbulkannya jauh lebih besar daripada manfaatnya.
Maka konsekuensinya jelas: meminum minuman memabukkan memberi manfaat kecil dan menanggung mudarat (dosa) yang besar.

Contoh Kasus 2:
Seorang pria mencintai seorang wanita cantik. Apakah keputusannya benar?
Validasi Al-Qur’an:
Kita harus merujuk pada kriteria wanita baik menurut Al-Qur’an. Kita juga perlu merujuk pada rujukan Hadis tentang kriteria wanita yang layak dinikahi. Karena Al-Qur’an juga memerintahkan agar Hadis Nabi dijadikan acuan bersama Al-Qur’an.
Hal ini sangat mudah dilakukan di zaman sekarang dengan mengirimkan prompt ke ChatGPT: “Apa saja kriteria wanita baik dalam Islam, lengkap dengan dalil dari Al-Qur’an dan Hadis?” Maka kamu akan mendapatkan jawaban rinci, jawaban yang benar-benar jelas, yang jauh dari gangguan ego kita.