Ketika Sains Pura-Pura Buta
Posted on 28 July 2025 by Mohammad Ali Hasan Amiruddin — 2 min
Sains memiliki keterbatasan. Tapi mereka tak berhenti mengklaim bahwa kebenaran harus rasional. Mereka tidak sadar bahwa rasionalitas memiliki batasan. Sebagaimana anak kecil yang memiliki tingkat rasionalitas yang lebih rendah ketimbang orang dewasa. Orang dewasa bisa dengan mudah memahami bahwa kebodohan bisa berbahaya, namun tidak dengan anak kecil. Rasionalitas anak kecil cenderung kepada hal yang lebih sederhana, misal: alasan di balik manisnya permen, atau mengapa hujan bisa membuat pakaian basah.
Sekarang, apakah sains sudah benar-benar dewasa dalam hal rasionalitasnya, sehingga ia menantang kebenaran yang sebenarnya berada di luar jangkauannya? Di sinilah sains cenderung pura-pura buta terhadap kebenaran yang tidak bisa diobservasi melalui kerangka kerjanya.
Ada banyak keselarasan antara hasil eksperimen sains dengan informasi Qur'an, namun mereka — mayoritas ilmuwan — tak mau menerima Islam, dengan seolah berkata: informasi Qur'an belum diverifikasi sepenuhnya, termasuk surga dan neraka. Mereka seperti anak kecil yang ingin memahami: mengapa proton-neutron-elektron dalam permen bisa membuat rasa manis? Suatu rasionalitas terbatas yang tak mau menyadari keterbatasannya.
Agama adalah kebenaran yang berada di luar jangkauan rasionalitas sains. Seperti kata Al-Ghazali, "Apa yang tidak bisa kamu pahami hari ini bukan karena itu tak masuk akal, tapi karena akalmu belum sampai."
Di hadapan agama, kita semua tidak lebih dari sekedar anak kecil yang hanya tahu bahwa permen itu manis, bukannya mengapa harus ada rasa manis. Realitas tak selalu menunjukkan esensinya, dan agama selalu berusaha menunjukkannya, meski kita justru seringkali menolaknya.